Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Anatomi Sebuah Pengambilalihan: Dekonstruksi Hubungan Kejatuhan Soekarno, Operasi CIA, dan Lahirnya Freeport di Indonesia

Anatomi Sebuah Pengambilalihan: Dekonstruksi Hubungan Kejatuhan Soekarno, Operasi CIA, dan Lahirnya Freeport di Indonesia
Anatomi Sebuah Pengambilalihan: Dekonstruksi Hubungan Kejatuhan Soekarno,
Operasi CIA, dan Lahirnya Freeport di Indonesia



I. Pendahuluan: Narasi Abadi Kudeta yang Digerakkan oleh Sumber Daya Alam

Sebuah narasi yang kuat dan bertahan lama dalam sejarah modern Indonesia menyatakan bahwa gejolak politik pada periode 1965-1967 bukanlah sekadar perebutan kekuasaan internal atau pertempuran ideologis Perang Dingin, melainkan sebuah kudeta yang digerakkan oleh sumber daya alam. Teori ini berpendapat bahwa cadangan emas dan tembaga yang luar biasa besar dan belum tersentuh di Papua (saat itu Irian Barat) adalah motivasi utama di balik kampanye yang didukung oleh Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat untuk menyingkirkan Presiden Soekarno yang berhaluan nasionalis.

Kekuatan narasi ini bersumber dari bukti sirkumstansial yang paling mencolok: kedekatan waktu yang luar biasa antara konsolidasi kekuasaan Jenderal Soeharto dan penandatanganan kontrak pertambangan yang sangat menguntungkan dengan Freeport Sulphur (kini Freeport-McMoRan) pada bulan April 1967.1 Penandatanganan Kontrak Karya (KK) pertama ini, yang terjadi begitu cepat setelah rezim baru berkuasa, sering dianggap sebagai "bukti" dari sebuah konspirasi yang terencana.

Laporan ini bertujuan untuk membedah secara kritis narasi tersebut dengan menguji titik temu dari empat arus pengaruh utama: (1) nasionalisme ekonomi konfrontatif Soekarno; (2) kepentingan strategis kebijakan Perang Dingin Amerika Serikat di Asia Tenggara; (3) dinamika kekuasaan internal di kalangan elite politik dan militer Indonesia; dan (4) ambisi korporat Freeport dalam menghadapi hadiah geologis berskala global. Dengan menganalisis motivasi, kesempatan, dan eksekusi dari berbagai aktor yang terlibat, laporan ini akan menyajikan analisis berlapis yang melampaui sekadar teori konspirasi untuk mengungkap kompleksitas salah satu momen paling krusial dalam sejarah Indonesia.

II. Arah Tabrakan: Nasionalisme Soekarno vs. Kepentingan Perang Dingin Barat

Untuk memahami mengapa intervensi asing menjadi sebuah kemungkinan yang nyata, penting untuk terlebih dahulu menganalisis lingkungan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Soekarno. Kebijakannya secara efektif menempatkan Indonesia pada arah tabrakan yang tak terhindarkan dengan blok Barat, menciptakan prasyarat yang diperlukan untuk sebuah perubahan rezim yang didukung dari luar.

Doktrin "Berdikari" dan Kekacauan Ekonomi

Inti dari filosofi ekonomi Soekarno adalah prinsip "Berdikari" (Berdiri di atas Kaki Sendiri), sebuah doktrin yang secara fundamental anti-imperialis dan menolak ketergantungan pada modal asing.3 Kebijakan ini diwujudkan melalui serangkaian tindakan radikal, termasuk nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing 5, penolakan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF), dan seruan terkenalnya, "Go to hell with your aid!" ("Persetan dengan bantuanmu!").4

Meskipun didasari oleh cita-cita kemandirian nasional, konsekuensi praktis dari kebijakan ini sangat menghancurkan. Pada periode 1965-1966, Indonesia terjerumus ke dalam jurang hiperinflasi yang mencapai lebih dari 600% per tahun.7 Serangkaian devaluasi mata uang memusnahkan tabungan rakyat dan melumpuhkan perdagangan. Kas negara kosong, sementara proyek-proyek politik mercusuar menghabiskan anggaran yang tersisa, menyebabkan stagnasi ekonomi yang parah dan penderitaan yang meluas di kalangan masyarakat.7

Kebijakan ekonomi Soekarno tidak hanya mengasingkan Barat secara ideologis, tetapi juga secara aktif menciptakan kondisi domestik yang penuh kekacauan dan keputusasaan. Keruntuhan ekonomi ini membuat pengambilalihan yang dipimpin oleh militer dan didukung Barat tidak hanya mungkin terjadi, tetapi bagi banyak pihak, tampak sebagai sesuatu yang diharapkan. Kehancuran ekonomi memberikan pembenaran internal bagi "Orde Baru" Soeharto untuk tampil sebagai penyelamat, sekaligus memberikan pembenaran eksternal bagi intervensi Barat di bawah panji "stabilisasi". Negara yang berada dalam kehancuran ekonomi pada dasarnya tidak stabil dan rentan. Kerentanan ini menciptakan peluang bagi penantang internal, seperti Angkatan Darat, untuk memposisikan diri sebagai kekuatan yang dapat memulihkan ketertiban dan kemakmuran. Pada saat yang sama, hal ini memberikan insentif kuat bagi aktor eksternal seperti Amerika Serikat untuk mendukung para penantang tersebut, karena janji bantuan ekonomi dan investasi menjadi alat pengaruh yang sangat ampuh. Dengan demikian, sikap anti-Barat Soekarno secara tidak sengaja menciptakan krisis yang dapat dieksploitasi oleh lawan-lawannya untuk menyingkirkannya.

Politik Luar Negeri Konfrontatif

Di panggung dunia, Soekarno secara aktif memposisikan Indonesia sebagai pemimpin "New Emerging Forces" (NEFOS) untuk menantang "Old Established Forces" (OLDEFOS) yang didominasi oleh Barat. Sikap ini termanifestasi dalam kebijakan "Konfrontasi" dengan Malaysia, yang dianggap Soekarno sebagai proyek neokolonial Inggris.7 Secara bersamaan, ia menjalin hubungan yang semakin erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri, serta dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet di luar negeri.4

Dari sudut pandang Washington, perkembangan ini sangat mengkhawatirkan. Indonesia, negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan partai komunis terbesar ketiga di luar blok Soviet, dengan cepat menjadi "domino" kritis yang berada di ambang jatuh ke dalam orbit komunis.10 Dalam konteks Perang Dingin yang memanas di Vietnam, pencegahan jatuhnya Indonesia ke tangan komunisme menjadi prioritas strategis utama bagi Amerika Serikat.

III. Wahyu Ertsberg: Gunung Emas di Tanah yang Tidak Ramah Secara Politik

Jika kebijakan Soekarno menciptakan kondisi politik yang matang untuk intervensi, penemuan cadangan mineral raksasa di Papua memberikan "motif" ekonomi yang sangat besar, yang menjadi inti dari teori konspirasi ini.

Hadiah Geologis

Kisah ini dimulai pada tahun 1936, ketika seorang geolog Belanda bernama Jean Jacques Dozy menemukan sebuah singkapan batuan yang aneh di pedalaman Nugini Belanda, yang ia namakan "Ertsberg" atau "Gunung Bijih".11 Sejarawan Greg Poulgrain, seorang pendukung utama teori konspirasi ini, berpendapat bahwa Dozy sejak awal menyadari bahwa temuannya bukan sekadar deposit tembaga, melainkan salah satu deposit emas terbesar di dunia—sebuah fakta yang menurutnya sengaja disamarkan oleh Freeport di kemudian hari.13 Klaim ini secara dramatis meningkatkan taruhan, mengubahnya dari sekadar tambang yang berharga menjadi aset strategis kelas dunia.

Ambisi Freeport yang Terhalang

Perusahaan Freeport Sulphur mengetahui laporan Dozy dan, setelah ekspedisi yang dipimpin oleh Forbes Wilson pada tahun 1960 mengkonfirmasi potensinya yang luar biasa, menjadi sangat bersemangat untuk mengeksploitasinya.11 Namun, terdapat satu penghalang yang tidak dapat diatasi: iklim politik Indonesia. Nasionalisme Soekarno yang vokal dan kebijakan anti-investasi asingnya membuat segala bentuk negosiasi menjadi mustahil.2

Kekhawatiran Freeport diperparah oleh pengalaman pahit mereka baru-baru ini, di mana aset mereka dinasionalisasi oleh rezim Fidel Castro di Kuba. Hal ini membuat perusahaan sangat waspada untuk berurusan dengan pemimpin nasionalis kiri seperti Soekarno, yang kebetulan adalah sahabat Castro.16

Signifikansi Ertsberg bukanlah pada penemuannya, melainkan pada ketidakaksesannya secara politik. Ini adalah aset bernilai miliaran dolar yang diketahui keberadaannya, tetapi terkunci oleh ideologi. Hal ini mengubah narasi dari "demam emas" yang tiba-tiba menjadi permainan menunggu yang sabar dan strategis oleh kepentingan korporat dan negara, menantikan kunci politik yang dapat membuka harta karun tersebut. Jeda waktu yang panjang antara penemuan (1936), konfirmasi potensi (1960), dan penandatanganan kontrak (1967) menunjukkan bahwa Soekarno adalah satu-satunya variabel yang menghalangi. Ini menyiratkan bahwa Freeport dan pihak-pihak yang berkepentingan di pemerintahan AS tidak tinggal diam; mereka memantau situasi, sadar akan nilai aset tersebut, dan menunggu—atau bahkan bekerja untuk menciptakan—pergeseran politik yang akan mengubah perhitungan risiko dan imbalan. Kejatuhan Soekarno bukan hanya peristiwa yang disambut baik; itu adalah kondisi spesifik yang diperlukan untuk mengaktifkan aset ekonomi yang dorman ini.

IV. Titik Tumpu 1965-1967: Dekonstruksi "Kudeta Merangkak"

Periode 1965-1967 menyaksikan sebuah transisi kekuasaan yang metodis dan bertahap, sering disebut sebagai "kudeta merangkak". Sifatnya yang perlahan namun pasti ini memungkinkan manuver ekonomi dan hukum dapat berjalan secara paralel dengan manuver politik.

Dari G30S ke Supersemar

Transisi dimulai dengan Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965—penculikan dan pembunuhan enam jenderal senior Angkatan Darat, yang secara resmi dituduhkan kepada PKI.9 Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dengan cepat mengambil alih kendali situasi. Ia melancarkan pembersihan anti-komunis yang brutal di seluruh negeri, yang menewaskan ratusan ribu orang.18

Di tengah meningkatnya ketegangan politik dan demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), momen penting terjadi pada 11 Maret 1966 dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).9

Supersemar: Instrumen Hukum Pengambilalihan De Facto

Supersemar diselimuti oleh ambiguitas yang krusial. Secara hukum, surat itu adalah sebuah "delegasi wewenang" dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan ketertiban.19 Namun, dalam praktiknya, Soeharto segera menggunakannya sebagai "transfer wewenang".22 Tindakan pertamanya adalah membubarkan PKI—sebuah langkah yang telah lama ditentang Soekarno—dan menangkapi menteri-menteri yang setia kepada presiden.23

Erosi Kekuasaan yang Sistematis

Selama setahun berikutnya, terjadi proses sistematis untuk melucuti kekuasaan Soekarno sambil mempertahankan lapisan legalitas konstitusional.19 Proses ini mencakup penolakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terhadap pidato pertanggungjawaban Soekarno ("Nawaksara"), diikuti dengan pernyataan bahwa Soekarno telah "alpa" atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Puncaknya adalah pada Sidang Istimewa MPRS bulan Maret 1967, yang secara resmi mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.19

Kekuatan teori konspirasi terletak pada kronologinya. Tabel berikut ini menyoroti bagaimana arsitektur hukum untuk investasi asing dibangun secara bersamaan dengan pembongkaran otoritas Soekarno, menunjukkan adanya koordinasi yang kuat daripada sekadar kebetulan.

Tabel 1: Kronologi Pengambilalihan Paralel (Politik & Ekonomi)

TanggalTransisi PolitikKerangka Ekonomi & Hukum
1 Oktober 1965Peristiwa G30S; Soeharto mengambil kendali militer-
Okt 1965 - Mar 1966Pembersihan anti-komunis meluas-
11 Maret 1966Soekarno menandatangani Supersemar-
12 Maret 1966Soeharto membubarkan PKI menggunakan Supersemar-
Oktober 1966-

Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) siap 1

10 Januari 1967Soekarno menyerahkan "Pelengkap Nawaksara" yang ditolak MPRS

UU PMA No. 1/1967 disahkan 1

12 Maret 1967MPRS mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden

UU Pokok Pertambangan No. 11/1967 disahkan 25

7 April 1967-

Freeport menandatangani Kontrak Karya I 11

V. Tangan Amerika: Memilah Bukti Intervensi Terselubung

Evaluasi kritis terhadap dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasi sangat penting untuk membedakan antara dukungan yang terkonfirmasi dan tuduhan orkestrasi langsung oleh Amerika Serikat.

Apa yang Diungkap oleh Dokumen Deklasifikasi

Analisis telegram-telegram rahasia dari Kedutaan Besar AS di Jakarta yang kini telah dibuka untuk publik menunjukkan bahwa para pejabat AS memiliki pengetahuan yang rinci dan real-time tentang pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh komunis oleh Angkatan Darat Indonesia dan sekutu sipilnya.10 Jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 500.000 orang.

Dokumen-dokumen tersebut mengkonfirmasi bahwa AS memberikan dukungan material kepada Angkatan Darat, terutama dalam bentuk peralatan komunikasi seperti radio, untuk membantu mengoordinasikan operasi mereka.10 Ada bukti yang jelas mengenai tujuan kebijakan AS untuk mendukung Angkatan Darat, melemahkan gerakan buruh kiri yang kuat, dan memastikan penghancuran PKI.10 Terdapat pula catatan pertemuan rahasia antara pejabat AS, seperti Duta Besar Marshall Green, dengan tokoh-tokoh kunci Indonesia seperti Adam Malik dan Soeharto untuk membahas pembersihan pengaruh komunis.6

Apa yang Tidak Diungkap oleh Dokumen (Mata Rantai yang Hilang)

Secara krusial, catatan deklasifikasi yang tersedia hingga saat ini tidak mengandung "bukti pamungkas" yang membuktikan bahwa CIA merekayasa peristiwa G30S itu sendiri atau secara langsung memerintahkan penggulingan Soekarno.10 Sejarawan Antonie C.A. Dake, dalam bukunya "Sukarno File", berpendapat bahwa "mustahil" bagi CIA untuk mendalangi peristiwa internal yang begitu kompleks.27 Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan operasi rahasia yang paling sensitif kemungkinan besar masih dirahasiakan, meninggalkan celah penting dalam catatan sejarah.10

Bukti yang ada membingkai ulang peran AS, bukan sebagai "dalang" yang mengatur seluruh kudeta, melainkan sebagai "akselerator oportunistik" yang kuat. Peristiwa G30S yang kacau balau kemungkinan besar merupakan urusan internal. Namun, reaksi AS jauh dari netral. Mereka tidak menyulut api, tetapi mereka mengenali peluang emas dan segera menyediakan bahan bakar (dukungan material) dan oksigen (dukungan politik) untuk memastikan api tersebut melahap musuh-musuh mereka (PKI) dan membawa sekutu mereka (Angkatan Darat) ke tampuk kekuasaan. Pemberian radio bukanlah detail kecil; di negara kepulauan yang luas dengan komunikasi yang buruk, ini merupakan pengganda kekuatan yang signifikan, memungkinkan Angkatan Darat untuk mengoordinasikan kampanye anti-PKI mereka dengan lebih efektif. Peran AS bukanlah menciptakan krisis, tetapi secara tegas campur tangan untuk membentuk hasilnya, memastikan pihak yang "tepat" menang.

VI. Membuka Pintu Air: Pembalikan Ekonomi Orde Baru dan Kontrak Karya 1967

Setelah kekuasaan politik diamankan, rezim baru bergerak cepat untuk membongkar arsitektur ekonomi Soekarno dan menggantinya dengan kerangka hukum yang dirancang untuk menarik modal asing. Langkah ini berpuncak pada penyerahan hadiah Papua kepada Freeport.

"Blitzkrieg" Legislatif: UU PMA 1967

Salah satu tindakan pertama dari Orde Baru yang sedang terbentuk adalah penyusunan dan pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA).24 Undang-undang ini disahkan pada 10 Januari 1967, dua bulan penuh

sebelum Soeharto secara resmi diangkat menjadi Pejabat Presiden.

UU PMA merupakan pembalikan total dari kebijakan Soekarno. Undang-undang ini menawarkan jaminan kepada investor asing terhadap nasionalisasi, pembebasan pajak (tax holiday), dan hak untuk merepatriasi keuntungan.24 Penyusunan undang-undang ini sangat dipengaruhi, jika bukan dirancang, oleh sekelompok ekonom Indonesia lulusan AS yang dijuluki "Mafia Berkeley". Mereka adalah pendukung model ekonomi pasar bebas yang berorientasi ke Barat.5

Analisis Forensik Kontrak Karya I (KK I)

Ditandatangani pada 7 April 1967, kontrak Freeport adalah perjanjian besar pertama di bawah UU PMA yang baru.11 Ketentuan-ketentuannya sangat menguntungkan Freeport dan menunjukkan posisi tawar Indonesia yang sangat lemah pada saat itu.26 Model kontrak itu sendiri dilaporkan dirancang oleh Freeport, bukan oleh pemerintah Indonesia.26

Istilah-istilah seperti "tidak menguntungkan" bersifat subjektif. Tabel berikut menyajikan data kuantitatif yang keras untuk membuktikan skala konsesi yang diberikan oleh pemerintahan Soeharto yang baru lahir. Angka royalti 1% menjadi sangat memberatkan ketika ditempatkan dalam konteks perbandingan, berfungsi sebagai "kuitansi" akhir dari teori konspirasi yang menunjukkan hasil ekonomi nyata dari transisi politik.

Tabel 2: Dekonstruksi Asimetri Kontrak Karya I (1967)

Ketentuan FiskalFreeport Kontrak Karya I (1967)Kontrak Karya Indonesia Generasi BerikutnyaStandar Internasional Umum (Era 1990-an)
Royalti Emas

1% dari penjualan 25

1% (KK II 1991), kemudian direnegosiasi lebih tinggi3% - 5% dari pendapatan
Pajak Penghasilan Badan

35% (namun dengan tax holiday ekstensif di awal) 11

35% (dengan lebih sedikit insentif)Bervariasi, tetapi dengan lebih sedikit pembebasan awal
Kewajiban Divestasi Saham

Tidak ada 1

Divestasi bertahap hingga 51% (meskipun implementasinya bermasalah) 11

Praktik yang semakin umum
Kewajiban Pengolahan (Smelter)Tidak diwajibkanTidak diwajibkan secara eksplisit dalam KK II

Semakin diwajibkan (kebijakan nilai tambah) 33

VII. Sintesis: Konspirasi, Kebetulan, atau Konvergensi Kepentingan?

Setelah menimbang semua bukti, tiga interpretasi utama muncul untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang dramatis ini.

Argumen untuk Konspirasi Besar

Pandangan ini, yang diperjuangkan oleh sejarawan seperti Greg Poulgrain, mengusulkan adanya sebuah rencana jangka panjang yang telah disusun sebelumnya.13 Rangkaian peristiwa—mulai dari tekanan AS terhadap Belanda untuk menyerahkan Papua, identifikasi hadiah Ertsberg, pengasingan Soekarno, kudeta, hingga penandatanganan kontrak Freeport yang cepat—dianggap terlalu selaras untuk menjadi sebuah kebetulan. Ini menunjukkan adanya sebuah rencana induk yang dieksekusi selama beberapa tahun.

Argumen untuk Dinamika Internal dan Kebetulan

Perspektif ini, yang diwakili oleh para sarjana seperti Antonie C.A. Dake, menekankan faktor-faktor pendorong internal dari krisis 1965.27 Konflik antara Angkatan Darat dan PKI adalah nyata dan telah memanas selama bertahun-tahun.9 Upaya Soekarno untuk menyeimbangkan kedua kekuatan ini gagal, dan kebijakan ekonominya membawa bencana. Dalam pandangan ini, G30S adalah sebuah ledakan internal, dan keselarasan berikutnya dengan Barat dan Freeport adalah pilihan pragmatis—meskipun putus asa—oleh rezim baru yang menghadapi keruntuhan ekonomi.

Tesis yang Diusulkan: Konvergensi Kepentingan Strategis

Laporan ini mengusulkan interpretasi ketiga yang lebih bernuansa, yang mensintesiskan elemen dari kedua pandangan tersebut. Peristiwa ini bukanlah konspirasi yang dikelola secara terpusat dengan satu dalang tunggal, juga bukan murni kebetulan. Sebaliknya, ini adalah sebuah konvergensi kepentingan strategis di antara tiga aktor independen yang saling menguatkan:

  1. Angkatan Darat Indonesia (Soeharto): Motivasinya adalah merebut kekuasaan politik, melenyapkan saingannya, PKI, dan menstabilkan ekonomi yang runtuh.

  2. Pemerintah Amerika Serikat (CIA/Departemen Luar Negeri): Motivasinya adalah mencegah pengambilalihan komunis di medan pertempuran utama Perang Dingin dan menempatkan rezim yang bersahabat dan pro-pasar.

  3. Freeport Sulphur: Motivasinya adalah mendapatkan akses ke salah satu deposit mineral terkaya di dunia, yang secara politik tidak dapat diakses di bawah rezim sebelumnya.

Pada periode 1965-1967, tiga rangkaian kepentingan yang berbeda ini selaras dengan sempurna. Kudeta Angkatan Darat melayani tujuan geopolitik CIA, dan kebutuhan rezim baru akan modal asing dan legitimasi internasional melayani tujuan korporat Freeport. Mereka tidak memerlukan satu konspirasi besar yang menyeluruh; mereka hanya perlu mengenali kepentingan bersama mereka dan bertindak sesuai, menciptakan rangkaian peristiwa yang kuat dan saling memperkuat.

VIII. Kesimpulan: Bayang Panjang 1967 dan Warisan Abadinya

Laporan ini menyimpulkan bahwa meskipun bukti langsung yang menunjukkan CIA mendalangi G30S demi Freeport masih sulit ditemukan, bukti sirkumstansial yang menunjukkan AS mengeksploitasi krisis tersebut untuk mencapai tujuan geopolitik dan ekonomi yang secara langsung menguntungkan Freeport sangatlah kuat. Tesis "Konvergensi Kepentingan" memberikan penjelasan yang paling koheren atas peristiwa-peristiwa tersebut, mengakui agensi dari para aktor Indonesia sambil sepenuhnya memperhitungkan peran penting yang dimainkan oleh kepentingan AS.

Kontrak Karya 1967 menetapkan cetak biru bagi seluruh model pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam Orde Baru: memprioritaskan investasi asing dan stabilitas politik di atas kedaulatan nasional, perlindungan lingkungan, dan distribusi kekayaan yang adil.

Peristiwa 1965-1967 dan pendirian Freeport telah meninggalkan bayangan panjang atas Indonesia modern. Hal ini terus memicu perdebatan tentang nasionalisme sumber daya alam, identitas dan hak-hak masyarakat Papua, akuntabilitas perusahaan, dan sifat hubungan Indonesia dengan Barat. Perjuangan untuk menegosiasikan ulang kontrak Freeport dan divestasi 51% sahamnya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah kelanjutan langsung dari kisah yang dimulai dengan jatuhnya Soekarno, menunjukkan dampak yang mendalam dan abadi dari momen sejarah yang krusial ini.2

Post a Comment for "Anatomi Sebuah Pengambilalihan: Dekonstruksi Hubungan Kejatuhan Soekarno, Operasi CIA, dan Lahirnya Freeport di Indonesia"