Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Konflik Tanpa Akhir: Analisis Mendalam Akar Sejarah, Dinamika Persisten, dan Trajektori Masa Depan Perang Israel-Palestina

 

Konflik abadi Israel-Palestina Dari akar sejarah hingga krisis terkini. Pahami mengapa perang tak kunjung usai & apa penghalang utama perdamaian.
Konflik abadi Israel-Palestina: Dari akar sejarah hingga krisis terkini. Pahami mengapa perang tak kunjung usai & apa penghalang utama perdamaian.

Bagian I: Akar Sejarah dan Titik Balik Fundamental

Untuk memahami mengapa konflik Israel-Palestina tampak tidak berkesudahan, analisis harus dimulai dari akar historisnya yang kompleks. Peristiwa-peristiwa yang terjadi lebih dari satu abad yang lalu telah membentuk lanskap politik, demografis, dan psikologis yang melandasi kekerasan saat ini. Dari janji-janji era kolonial hingga perang-perang yang mengubah peta, setiap titik balik telah menambahkan lapisan keluhan dan ketidakpercayaan yang membuat perdamaian semakin sulit dicapai. Tabel berikut menyajikan kerangka kronologis peristiwa-peristiwa kunci yang akan dianalisis lebih dalam.

Tabel 1: Peristiwa Kunci dalam Konflik Israel-Palestina

TanggalPeristiwaDeskripsi SingkatSignifikansi
2 Nov 1917Deklarasi BalfourInggris mendukung "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina.

Memberikan legitimasi internasional bagi proyek Zionis dan menjadi katalisator utama konflik.1

29 Nov 1947Rencana Partisi PBBPBB mengesahkan Resolusi 181 untuk membagi Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi.

Diterima oleh pemimpin Yahudi tetapi ditolak oleh pemimpin Arab; memicu perang sipil.3

14 Mei 1948Deklarasi Kemerdekaan Israel & Perang Arab-Israel PertamaIsrael mendeklarasikan kemerdekaan, memicu invasi oleh negara-negara Arab tetangga.

Kelahiran negara Israel dan pengusiran massal lebih dari 750.000 warga Palestina (Nakba).3

5-10 Jun 1967Perang Enam HariIsrael melancarkan serangan pendahuluan dan mengalahkan koalisi Arab.

Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai; mengubah konflik menjadi masalah pendudukan.3

22 Nov 1967Resolusi DK PBB 242Menyerukan penarikan Israel dari wilayah pendudukan dengan imbalan perdamaian dan pengakuan.

Menetapkan prinsip "tanah untuk perdamaian" tetapi mengandung ambiguitas yang menjadi sumber sengketa interpretasi.3

9 Des 1987Intifada PertamaPemberontakan rakyat Palestina yang sebagian besar tidak bersenjata melawan pendudukan Israel.

Meningkatkan tekanan internasional dan mengarah pada proses perdamaian Madrid dan Oslo.3

13 Sep 1993Perjanjian Oslo IIsrael dan PLO saling mengakui dan sepakat untuk membentuk Otoritas Palestina.

Menciptakan kerangka kerja untuk pemerintahan mandiri Palestina tetapi menunda isu-isu inti yang paling sulit.3

28 Sep 2000Intifada Kedua (Al-Aqsa)Pemberontakan Palestina yang lebih termiliterisasi setelah kunjungan Ariel Sharon ke kompleks Al-Aqsa.

Menandai runtuhnya proses perdamaian Oslo dan memicu siklus kekerasan yang intens.3

2007Hamas Mengambil Alih GazaHamas secara paksa mengambil alih kendali Jalur Gaza dari Fatah.

Menciptakan perpecahan politik dan geografis Palestina yang melumpuhkan; Israel memberlakukan blokade di Gaza.10

7 Okt 2023Serangan Hamas ke Israel & Perang GazaHamas melancarkan serangan besar-besaran, memicu respons militer Israel yang menghancurkan di Gaza.

Eskalasi paling mematikan dalam beberapa dekade, menyebabkan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tuntutan genosida di ICJ.12

Benih Konflik: Dari Zionisme hingga Mandat Britania

Akar konflik modern dapat ditelusuri kembali ke kemunculan Zionisme sebagai ideologi politik di Eropa pada akhir abad ke-19.4 Gerakan ini bertujuan untuk mendirikan sebuah negara bagi orang-orang Yahudi di tanah air leluhur mereka, Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman. Aspirasi ini mendapatkan momentum politik yang signifikan dengan dikeluarkannya Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Dalam sebuah surat singkat, pemerintah Inggris secara publik menjanjikan dukungannya untuk pendirian "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina.1 Janji ini menjadi katalisator utama, karena memberikan dukungan dari kekuatan imperial besar pada sebuah proyek yang bertujuan untuk mengubah demografi suatu wilayah. Pada saat itu, populasi Yahudi di Palestina berjumlah kurang dari 10% dari total penduduk.2

Setelah kekalahan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, Inggris memperoleh mandat atas Palestina dari Liga Bangsa-Bangsa. Selama periode Mandat Britania (1923-1948), Inggris secara aktif memfasilitasi imigrasi massal orang Yahudi Eropa, terutama setelah kebangkitan Nazisme. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari 9% menjadi hampir 27% dari total populasi.2 Proses ini, yang sering kali disertai dengan pembelian tanah dan pengambilalihan oleh otoritas Inggris, menimbulkan ketegangan yang hebat dengan penduduk mayoritas Arab Palestina, yang semakin khawatir akan kehilangan tanah air dan perubahan demografi yang mengancam eksistensi mereka.3

Dokumen pendiri ini, Deklarasi Balfour, sejak awal telah menanamkan benih ketidaksetaraan yang akan mendefinisikan konflik di masa depan. Deklarasi tersebut berisi dua "klausul perlindungan" yang secara fundamental asimetris. Di satu sisi, deklarasi tersebut menyatakan bahwa "tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina." Namun, secara signifikan, hak "politik" mayoritas Arab dihilangkan dari teks tersebut. Di sisi lain, klausul kedua secara eksplisit melindungi "hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain mana pun".15 Pembedaan ini bukanlah sebuah kelalaian. Arthur Balfour sendiri kemudian mengakui dalam sebuah memorandum pada tahun 1919 bahwa Inggris "secara sengaja dan benar menolak untuk menerima prinsip penentuan nasib sendiri" bagi penduduk lokal Palestina, karena aspirasi Zionis lebih penting.15 Dengan demikian, kerangka kerja awal ini secara inheren dirancang untuk memprioritaskan proyek nasional satu kelompok minoritas di atas hak-hak politik mayoritas pribumi, menciptakan cacat desain fundamental yang menjadi cetak biru bagi konflik yang tak terhindarkan.

Perang 1948: Kelahiran Israel dan 'Nakba' Palestina

Meningkatnya kekerasan antara komunitas Yahudi dan Arab mendorong Inggris untuk menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang baru dibentuk. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181, yang dikenal sebagai Rencana Partisi. Rencana ini merekomendasikan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi, dengan Yerusalem ditempatkan di bawah rezim internasional khusus.3 Rencana tersebut memberikan sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi, meskipun populasi Yahudi saat itu hanya sekitar sepertiga dari total penduduk dan memiliki kurang dari 10% tanah.10 Rencana ini diterima oleh para pemimpin Yahudi tetapi ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin Arab, yang memandangnya sebagai pelanggaran terhadap hak penentuan nasib sendiri mayoritas penduduk.

Penolakan ini memicu perang sipil. Ketika Mandat Britania berakhir pada 14 Mei 1948, para pemimpin Yahudi mendeklarasikan berdirinya Negara Israel.3 Keesokan harinya, tentara dari negara-negara Arab tetangga (Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak) menginvasi, memulai Perang Arab-Israel pertama. Selama perang ini dan periode sebelumnya, milisi Zionis melancarkan operasi militer yang sistematis untuk menguasai wilayah. Operasi ini melibatkan penghancuran lebih dari 500 desa Palestina, pengusiran paksa penduduknya, dan serangkaian pembantaian, yang paling terkenal adalah di Deir Yassin pada April 1948, di mana lebih dari 100 pria, wanita, dan anak-anak dibunuh.4

Hasil dari perang ini adalah kemenangan militer bagi Israel, yang tidak hanya mengamankan wilayah yang dialokasikan oleh PBB tetapi juga merebut sekitar 60% dari wilayah yang diperuntukkan bagi negara Arab. Bagi bangsa Palestina, hasil ini adalah sebuah malapetaka. Lebih dari 750.000 warga Palestina—sekitar setengah dari populasi Arab Palestina saat itu—diusir secara paksa atau melarikan diri dari rumah mereka, menjadi pengungsi di negara-negara tetangga atau di wilayah Palestina yang tersisa (Tepi Barat dan Gaza).3 Peristiwa ini dikenal dalam bahasa Arab sebagai

Nakba, atau "malapetaka".17

Nakba bukan sekadar peristiwa sejarah; ia merupakan trauma kolektif yang mendalam dan titik pusat identitas politik serta narasi nasional Palestina hingga hari ini.

Pemahaman yang krusial adalah bahwa bagi banyak warga Palestina, Nakba bukanlah peristiwa tunggal yang berakhir pada tahun 1949. Sebaliknya, ia dipandang sebagai proses perampasan dan pengusiran yang berkelanjutan.4 Proses pengusiran massal sebenarnya telah dimulai berbulan-bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Israel; pada pertengahan Mei 1948, setengah dari total pengungsi Palestina telah diusir dari rumah mereka.4 Narasi keberlanjutan ini terlihat jelas dalam kesaksian modern. Seorang warga Gaza pada tahun 2025 menggambarkan bagaimana kakeknya diusir pada tahun 1948 dan bagaimana ia sendiri mengalami pengungsian paksa pada tahun 2023, menyebutnya sebagai "Nakba kedua".18 Retorika dari beberapa pejabat Israel yang mengancam akan adanya "Nakba kedua dan ketiga" semakin memperkuat persepsi bahwa ini bukanlah kenangan masa lalu, melainkan ancaman aktif di masa kini.19 Oleh karena itu, untuk memahami motivasi Palestina, perang saat ini tidak dilihat sebagai konflik baru, melainkan sebagai babak terbaru dalam perjuangan melawan perampasan yang sama yang dimulai lebih dari 75 tahun yang lalu.

Perang Enam Hari 1967 dan Awal Mula Pendudukan

Dua dekade setelah Nakba, lanskap geopolitik Timur Tengah kembali berubah secara dramatis. Ketegangan antara Israel dan negara-negara tetangganya, terutama Mesir, Suriah, dan Yordania, terus meningkat sepanjang pertengahan 1960-an. Dinamika Perang Dingin memperburuk situasi, dengan Uni Soviet mendukung dan mempersenjatai Mesir dan Suriah, sementara Amerika Serikat semakin memperkuat hubungannya dengan Israel.20 Pemicu langsung perang adalah serangkaian eskalasi pada Mei 1967. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memobilisasi pasukannya di Semenanjung Sinai dan memerintahkan penarikan pasukan penjaga perdamaian PBB. Pada 22 Mei, ia menutup Selat Tiran untuk pelayaran Israel, sebuah tindakan yang dianggap Israel sebagai

casus belli (penyebab perang) karena memblokade akses laut vitalnya ke Laut Merah.20

Merasakan ancaman eksistensial, Israel melancarkan serangan udara pendahuluan yang masif pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, yang dikenal sebagai Operasi Fokus. Serangan ini menghancurkan sebagian besar angkatan udara Mesir di darat, memberikan Israel superioritas udara yang menentukan selama sisa perang.20 Dalam enam hari pertempuran, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meraih kemenangan militer yang menakjubkan. Israel merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.3

Perang Enam Hari secara fundamental mengubah sifat konflik Israel-Palestina. Sebelum tahun 1967, konflik utama bersifat antar-negara, antara Israel dan negara-negara Arab yang berdaulat. Tepi Barat berada di bawah kendali Yordania dan Gaza di bawah administrasi Mesir.3 Namun, setelah perang, Israel menjadi kekuatan pendudukan militer atas wilayah-wilayah yang dihuni oleh lebih dari satu juta warga Palestina. Ini menciptakan realitas baru "pendudukan" yang menjadi kerangka bagi semua dinamika konflik di masa depan: pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan, munculnya gerakan perlawanan Palestina yang terorganisir di Tepi Barat dan Gaza, dan penerapan hukum humaniter internasional yang mengatur kewajiban kekuatan pendudukan. Perang ini juga mengukuhkan "Garis Hijau"—garis gencatan senjata tahun 1949—sebagai perbatasan

de facto yang diakui secara internasional antara Israel dan wilayah Palestina yang diduduki, yang kelak menjadi dasar bagi negosiasi negara Palestina di masa depan.23 Dengan demikian, konflik bergeser dari sengketa perbatasan antar negara menjadi perjuangan yang berpusat pada pendudukan militer, penentuan nasib sendiri, dan kedaulatan bagi bangsa Palestina.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 242: Cetak Biru Perdamaian yang Ambigu

Sebagai tanggapan atas Perang Enam Hari, Dewan Keamanan PBB pada 22 November 1967 dengan suara bulat mengadopsi Resolusi 242. Resolusi ini menjadi landasan bagi hampir semua upaya perdamaian di Timur Tengah selama beberapa dekade berikutnya.3 Resolusi ini mengabadikan formula "tanah untuk perdamaian" (

land for peace), yang menyerukan "(i) Penarikan angkatan bersenjata Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki dalam konflik baru-baru ini" dan "(ii) Penghentian semua klaim atau keadaan perang dan penghormatan serta pengakuan atas kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan politik setiap Negara di wilayah tersebut".3 Resolusi ini juga menekankan "tidak dapat diterimanya perolehan wilayah melalui perang".6

Namun, di balik konsensus yang tampak, teks resolusi ini mengandung ambiguitas yang disengaja yang menjadi sumber perselisihan interpretatif yang tak berkesudahan. Perbedaan krusial terletak pada versi bahasa Inggris dan Prancis dari resolusi tersebut, yang keduanya merupakan teks resmi. Versi bahasa Inggris menyerukan penarikan "from territories occupied" (dari wilayah-wilayah yang diduduki), tanpa menggunakan kata sandang definitif "the". Israel, didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris, menafsirkan ini sebagai tidak mewajibkan penarikan penuh dari semua wilayah yang diduduki, sehingga memungkinkan adanya modifikasi perbatasan dalam negosiasi perdamaian untuk memastikan "perbatasan yang aman dan diakui".27 Sebaliknya, versi bahasa Prancis menyatakan "retrait

des territoires occupés" (penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan), di mana "des" sering diartikan sebagai "from the". Negara-negara Arab dan Uni Soviet berpegang pada interpretasi ini, dengan alasan bahwa hal itu, ditambah dengan prinsip non-akuisisi wilayah melalui perang, menuntut penarikan Israel secara total ke garis pra-1967.6

Ambiguitas ini bukanlah kecelakaan. Para perancang resolusi, terutama Lord Caradon dari Inggris, secara eksplisit menyatakan bahwa ketiadaan "the" dalam teks Inggris disengaja. Tujuannya adalah untuk menghindari penetapan garis gencatan senjata 1949 yang dianggap tidak dapat dipertahankan sebagai perbatasan permanen dan untuk memberikan fleksibilitas bagi para pihak untuk menegosiasikan perbatasan akhir mereka.27 Namun, apa yang dimaksudkan sebagai alat untuk memfasilitasi kompromi diplomatik justru menjadi pedang bermata dua. Sejak awal, kedua belah pihak dapat menafsirkan dokumen perdamaian yang paling fundamental ini sesuai dengan posisi maksimalis mereka. Hal ini menciptakan kebuntuan interpretatif yang melumpuhkan hampir setiap proses negosiasi berikutnya, memungkinkan konflik untuk terus berlanjut di atas fondasi diplomatik yang retak.

Bagian II: Faktor-Faktor Inti Penyebab Konflik Berkelanjutan

Di luar akar sejarahnya, konflik Israel-Palestina terus berlanjut karena serangkaian isu inti yang belum terselesaikan, dinamika politik internal yang melumpuhkan di kedua belah pihak, dan peran kompleks dari aktor-aktor eksternal. Faktor-faktor ini saling terkait, menciptakan siklus kekerasan dan kebuntuan diplomatik yang sulit dipatahkan.

Isu-Isu Status Akhir yang Belum Terselesaikan

Negosiasi perdamaian secara konsisten gagal karena ketidakmampuan untuk menyelesaikan apa yang dikenal sebagai "isu-isu status akhir": perbatasan, permukiman, status Yerusalem, dan nasib pengungsi Palestina.

Perbatasan, Permukiman, dan Garis Hijau

Garis Hijau, yaitu garis gencatan senjata tahun 1949, secara luas diakui oleh komunitas internasional sebagai dasar untuk perbatasan antara Israel dan negara Palestina di masa depan, sebagai bagian dari solusi dua negara.23 Namun, sejak tahun 1967, Israel secara sistematis telah membangun permukiman sipil di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Permukiman ini, yang kini menampung lebih dari 700.000 pemukim Israel 10, dianggap ilegal menurut hukum internasional. Konvensi Jenewa Keempat secara eksplisit melarang kekuatan pendudukan untuk memindahkan populasinya sendiri ke wilayah yang didudukinya. PBB, melalui berbagai resolusi termasuk Resolusi 2334, telah berulang kali menegaskan kembali ilegalitas permukiman ini.28 Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan opini penasihat yang menegaskan bahwa pendudukan dan permukiman Israel adalah ilegal dan menyerukan evakuasi semua pemukim.30

Pembangunan permukiman ini bukan sekadar masalah hukum; ia merupakan strategi teritorial dan demografis yang dirancang untuk menciptakan "fakta di lapangan" yang tidak dapat diubah. Dengan membangun permukiman di lokasi-lokasi strategis, Israel memecah belah wilayah Palestina, mengisolasi pusat-pusat populasi Palestina satu sama lain, dan mengontrol sumber daya vital seperti air. Laporan PBB secara konsisten menunjukkan rekor perluasan permukiman, yang memperingatkan bahwa tindakan ini berisiko "menghilangkan setiap kemungkinan untuk mendirikan Negara Palestina yang layak".33 Dengan demikian, ekspansi permukiman ini berfungsi sebagai aneksasi

de facto yang merusak secara fisik kelayakan solusi dua negara. Setiap hari pembangunan berlanjut, prospek pembagian wilayah yang adil semakin terkikis, mengubah apa yang seharusnya menjadi subjek negosiasi menjadi penghancuran sistematis terhadap landasan solusi itu sendiri.

Status Yerusalem

Yerusalem adalah titik nyala emosional, religius, dan nasionalis dari konflik ini. Baik Israel maupun Palestina mengklaim kota ini sebagai ibu kota mereka. Israel menguasai Yerusalem Barat pada tahun 1948 dan merebut Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua yang suci bagi Yudaisme, Kristen, dan Islam, pada tahun 1967. Israel kemudian secara resmi menganeksasi Yerusalem Timur, sebuah tindakan yang dianggap ilegal dan tidak diakui oleh sebagian besar komunitas internasional.32 Visi awal PBB, seperti yang diartikulasikan dalam Rencana Partisi 1947 dan Resolusi 194 tahun 1948, adalah untuk menjadikan Yerusalem sebagai

corpus separatum, sebuah entitas terpisah yang dikelola secara internasional karena signifikansi universalnya.3

Namun, solusi internasionalisasi ini telah sepenuhnya dikesampingkan oleh realitas di lapangan dan tindakan politik sepihak. Kontrol Israel atas seluruh kota, pembangunan permukiman Yahudi yang masif di dan sekitar Yerusalem Timur, dan tindakan-tindakan provokatif seperti pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem oleh pemerintahan Trump pada tahun 2017 3, telah secara efektif membunuh gagasan status internasional. Perdebatan kini berpusat pada apakah kota itu dapat dibagi, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Namun, bahkan solusi ini menjadi semakin sulit karena jaringan permukiman Israel yang dirancang untuk mengelilingi dan memecah belah lingkungan Palestina di Yerusalem Timur. Kegagalan untuk mempertahankan status khusus Yerusalem telah mengubahnya dari masalah administrasi yang dapat dikelola menjadi permainan zero-sum nasionalistik yang paling sulit diselesaikan.

Pengungsi Palestina dan Hak untuk Kembali (UNRWA)

Isu pengungsi adalah warisan langsung dari perang tahun 1948. Sekitar 750.000 warga Palestina yang diusir atau melarikan diri dan keturunan mereka, yang kini berjumlah hampir 6 juta orang, tersebar di Tepi Barat, Gaza, Yordania, Lebanon, dan Suriah.4 Resolusi Majelis Umum PBB 194, yang disahkan pada Desember 1948, menyatakan bahwa para pengungsi "yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukannya pada tanggal yang paling awal yang dapat dipraktikkan," dan bahwa "kompensasi harus dibayarkan" bagi mereka yang memilih untuk tidak kembali.3 Resolusi ini menjadi dasar bagi klaim Palestina atas "hak untuk kembali".

Untuk menangani krisis kemanusiaan, PBB mendirikan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) pada tahun 1949.36 Selama lebih dari 70 tahun, UNRWA telah menyediakan layanan penting seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan darurat. Namun, UNRWA lebih dari sekadar badan kemanusiaan; ia telah menjadi medan pertempuran politik. Upaya sistematis Israel untuk membubarkan UNRWA, termasuk meloloskan undang-undang yang melarang operasinya dan menuduhnya sebagai organisasi teroris 38, merupakan serangan strategis terhadap simbol "hak untuk kembali" itu sendiri. Israel berargumen bahwa UNRWA "melanggengkan" masalah pengungsi dengan mengizinkan status pengungsi diwariskan dari generasi ke generasi.37 Dari perspektif Israel, membubarkan UNRWA akan menjadi langkah besar untuk menghapus isu pengungsi dari agenda politik internasional. Sebaliknya, bagi Palestina, mempertahankan UNRWA berarti mempertahankan pengakuan internasional atas hak mereka untuk kembali, yang mereka anggap sebagai hak fundamental yang tidak dapat dinegosiasikan.40 Pertarungan atas keberadaan UNRWA, oleh karena itu, adalah pertarungan proksi atas salah satu isu inti yang paling tidak dapat didamaikan dalam konflik ini.

Dinamika Politik Internal

Ketidakmampuan untuk mencapai perdamaian juga sangat dipengaruhi oleh perpecahan dan politik domestik di kedua belah pihak, yang sering kali menghambat para pemimpin untuk membuat kompromi yang diperlukan.

Tabel 2: Analisis Komparatif Fatah dan Hamas

AspekFatah (Gerakan Pembebasan Nasional Palestina)Hamas (Gerakan Perlawanan Islam)
IdeologiNasionalis SekulerIslamis (berakar dari Ikhwanul Muslimin)
Tujuan UtamaMendirikan negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Gaza (Solusi Dua Negara) berdasarkan perbatasan 1967.Awalnya bertujuan membebaskan seluruh Palestina historis ("dari sungai ke laut") dan mendirikan negara Islam; piagam 2017 menerima negara berdasarkan perbatasan 1967 sebagai langkah sementara.
Strategi thd. IsraelMengutamakan diplomasi dan negosiasi; secara resmi meninggalkan kekerasan dan mengakui Israel melalui Perjanjian Oslo.Mengutamakan perlawanan bersenjata (jihad) sebagai cara utama pembebasan; menolak mengakui Israel.
Basis KekuasaanMengontrol Otoritas Palestina di Tepi Barat.Mengontrol Jalur Gaza secara de facto sejak 2007.
Pendukung InternasionalDidukung oleh negara-negara Barat, AS, dan negara-negara Arab moderat (misalnya, Mesir, Yordania).Didukung oleh Iran, Qatar, dan Turki.
Status InternasionalDiakui secara internasional sebagai perwakilan sah rakyat Palestina melalui PLO.Dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS, Uni Eropa, Israel, dan negara-negara lain.

Sumber: 11

Perpecahan Politik Palestina (Fatah vs. Hamas)

Perpecahan internal Palestina adalah salah satu hambatan struktural terbesar bagi perdamaian dan kenegaraan. Fatah, yang secara historis mendominasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), memilih jalur diplomasi pada akhir 1980-an, yang berpuncak pada Perjanjian Oslo dan pengakuan timbal balik dengan Israel.42 Sebaliknya, Hamas, yang didirikan pada tahun 1987 selama Intifada Pertama, menolak proses Oslo dan terus menganjurkan perlawanan bersenjata.11 Perpecahan ini meledak menjadi konflik terbuka setelah Hamas secara tak terduga memenangkan pemilihan legislatif Palestina pada tahun 2006. Ketegangan memuncak pada tahun 2007 ketika Hamas secara paksa mengambil alih kendali Jalur Gaza dari pasukan Fatah, yang mengakibatkan dua pemerintahan Palestina yang terpisah dan bermusuhan: Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah di Tepi Barat, dan pemerintahan Hamas di Gaza.10

Perpecahan ini lebih dari sekadar persaingan politik; ini adalah keretakan geografis, ideologis, dan strategis yang melumpuhkan Palestina. Tidak ada satu entitas pun yang dapat secara kredibel bernegosiasi atau menegakkan perjanjian atas nama semua warga Palestina. Israel sering menggunakan perpecahan ini sebagai alasan untuk tidak terlibat dalam negosiasi yang berarti, dengan argumen bahwa mereka tidak memiliki "mitra untuk perdamaian" yang bersatu dan dapat diandalkan.44 Tanpa rekonsiliasi Palestina, tidak ada jalan yang jelas menuju solusi dua negara atau resolusi konflik lainnya, karena melumpuhkan agensi politik Palestina dari dalam.

Politik Domestik dan Doktrin Keamanan Israel

Di sisi Israel, lanskap politik telah bergeser secara signifikan ke kanan selama beberapa dekade terakhir. Pemerintah koalisi sering kali bergantung pada partai-partai nasionalis-religius dan ultra-Ortodoks yang secara terbuka menentang gagasan negara Palestina dan mendorong ekspansi permukiman tanpa henti.46 Paradigma yang dominan dalam politik Israel adalah primasi keamanan di atas perdamaian. Kepentingan nasional Israel didefinisikan terutama dalam hal kelangsungan hidup negara Yahudi, mempertahankan superioritas militer, dan mengamankan perbatasan yang dapat dipertahankan.47

Dalam kalkulus politik domestik ini, risiko keamanan yang dirasakan dari sebuah negara Palestina yang berdaulat—seperti potensi menjadi basis teror atau bersekutu dengan musuh Israel—hampir selalu lebih diutamakan daripada potensi manfaat perdamaian. Narasi ini diperkuat oleh serangan roket dari Gaza dan serangan lainnya, yang memberdayakan politisi garis keras dan menciptakan siklus umpan balik: kekerasan membenarkan kebijakan keamanan yang lebih represif, yang pada gilirannya memicu lebih banyak perlawanan dan kekerasan. Pembunuhan Perdana Menteri Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh seorang ekstremis Yahudi sayap kanan yang menentang Perjanjian Oslo adalah pengingat yang mengerikan akan dalamnya penentangan domestik terhadap kompromi teritorial.48 Selama paradigma "keamanan di atas segalanya" mendominasi wacana politik Israel, setiap pemerintah akan menghadapi tekanan domestik yang luar biasa untuk tidak membuat konsesi yang diperlukan untuk mencapai perdamaian yang langgeng.

Peran Aktor Eksternal

Konflik ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Aktor-aktor eksternal memainkan peran penting dalam melanggengkan atau mencoba menyelesaikannya, sering kali dengan hasil yang kontradiktif.

Amerika Serikat: Mediator dan Sekutu dalam Satu Paket

Amerika Serikat secara historis memainkan peran ganda yang unik. Di satu sisi, AS telah menjadi mediator utama dalam hampir semua proses perdamaian yang signifikan, menjadi tuan rumah Perjanjian Camp David (antara Israel dan Mesir) dan Perjanjian Oslo.49 Di sisi lain, AS adalah sekutu terkuat Israel, memberikannya miliaran dolar bantuan militer dan ekonomi setiap tahun, serta perlindungan diplomatik yang tak tergoyahkan.49 Perlindungan ini paling nyata terlihat di Dewan Keamanan PBB, di mana AS secara rutin menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi yang kritis terhadap Israel.52

Dualitas ini secara efektif melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan yang mendasari konflik. Dengan memberikan Israel jaring pengaman diplomatik dan militer, AS mengurangi insentif bagi Israel untuk membuat kompromi yang sulit atau mematuhi hukum internasional terkait pendudukan. Bagi Palestina dan sebagian besar dunia, AS tidak dilihat sebagai mediator yang jujur, melainkan sebagai pengacara Israel, yang merusak kepercayaan pada setiap proses perdamaian yang dipimpin AS.49 Kebijakan AS sering kali lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik domestik, seperti lobi pro-Israel yang kuat dan basis pemilih Kristen Evangelis, daripada penilaian objektif tentang apa yang diperlukan untuk mencapai resolusi yang adil.51

Iran dan 'Poros Perlawanan'

Iran telah muncul sebagai pelindung utama faksi-faksi militan Palestina, terutama Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ). Teheran menyediakan dana yang signifikan (diperkirakan mencapai $350 juta per tahun untuk Hamas pada tahun 2023), persenjataan canggih (termasuk teknologi roket), dan pelatihan militer.56 Dukungan ini didorong oleh kombinasi motivasi ideologis—penolakan terhadap keberadaan Israel sebagai "Setan Kecil" dan entitas penjajah di tanah Muslim—dan tujuan strategis untuk menggunakan proksi untuk menantang Israel dan AS, serta memproyeksikan pengaruh Iran di seluruh kawasan.57

Dukungan Iran mengubah konflik Israel-Palestina dari sengketa nasional menjadi salah satu front dalam perang proksi regional yang lebih luas antara Iran dan sekutunya (Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman) melawan Israel dan Amerika Serikat. Kemampuan Hamas untuk melancarkan serangan skala besar seperti pada 7 Oktober 2023 tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan jangka panjang dari Iran.58 Keterlibatan Iran memastikan bahwa bahkan jika ada kemauan politik lokal untuk berdamai, kekuatan eksternal dapat dengan mudah menyabotase proses tersebut untuk memajukan agenda regional mereka sendiri, menambahkan lapisan kompleksitas yang membuat resolusi menjadi jauh lebih sulit.

Mediator Regional dan Hukum Internasional

Di tengah kebuntuan, negara-negara regional seperti Mesir dan Qatar telah mengambil peran penting sebagai mediator, terutama dalam menegosiasikan gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.12 Upaya mereka sangat penting dalam mengelola eskalasi kekerasan, meskipun mereka tidak dapat mengatasi isu-isu inti konflik.

Sementara itu, PBB dan badan-badan hukum internasional seperti ICJ terus menegaskan kerangka hukum untuk resolusi. Resolusi PBB secara konsisten mengutuk permukiman Israel sebagai ilegal, dan putusan ICJ telah menegaskan pelanggaran Israel terhadap hukum internasional.30 Namun, masalah utamanya adalah kegagalan total dalam penegakan hukum. Resolusi Dewan Keamanan yang mengikat secara hukum secara rutin diveto oleh AS.53 Putusan ICJ, meskipun memiliki bobot moral dan hukum yang besar, diabaikan oleh Israel tanpa konsekuensi yang berarti karena kurangnya mekanisme penegakan.30 Impotensi sistem hukum internasional ini menciptakan lingkungan impunitas di mana hukum dapat dilanggar tanpa hukuman. Ini mengirimkan pesan bahwa kekuatan militer lebih diutamakan daripada hukum, merusak prospek resolusi yang adil dan berbasis aturan, dan secara langsung berkontribusi pada siklus kekerasan yang tak berkesudahan.

Bagian III: Siklus Kekerasan Modern (1987-Sekarang)

Keluhan historis dan kegagalan politik telah memicu siklus kekerasan yang berulang, dengan setiap babak baru menjadi lebih mematikan dan sulit diatasi daripada yang sebelumnya. Dari pemberontakan batu hingga perang berteknologi tinggi, pola eskalasi ini menunjukkan bagaimana kegagalan diplomasi secara konsisten membuka jalan bagi konfrontasi militer.

Intifada: Dari Pemberontakan Populer ke Konflik Militer

Pada Desember 1987, setelah dua dekade pendudukan, frustrasi Palestina meledak dalam bentuk Intifada Pertama (Pemberontakan). Dipicu oleh sebuah insiden lalu lintas di Gaza di mana sebuah truk Israel menabrak mobil yang membawa pekerja Palestina dan menewaskan empat orang, pemberontakan ini dengan cepat menyebar ke seluruh Tepi Barat dan Gaza.7 Intifada Pertama sebagian besar merupakan gerakan perlawanan sipil dari bawah ke atas, yang ditandai dengan demonstrasi massal, pemogokan, boikot, dan pelemparan batu ke arah tentara Israel—sehingga sering disebut "pemberontakan batu".7 Pemberontakan ini berhasil membawa penderitaan Palestina di bawah pendudukan ke perhatian dunia dan menciptakan tekanan internasional yang signifikan pada Israel, yang pada akhirnya mengarah pada Konferensi Madrid pada tahun 1991 dan Perjanjian Oslo pada tahun 1993.3

Perjanjian Oslo, yang ditandatangani di halaman Gedung Putih, menciptakan harapan besar untuk perdamaian. Perjanjian ini menghasilkan pengakuan timbal balik antara Israel dan PLO serta pembentukan Otoritas Palestina dengan yurisdiksi terbatas di Tepi Barat dan Gaza.8 Namun, Oslo adalah sebuah kerangka kerja, bukan perjanjian akhir. Perjanjian ini menunda isu-isu yang paling sulit—perbatasan, permukiman, Yerusalem, dan pengungsi—untuk negosiasi di masa depan yang tidak pernah membuahkan hasil. Proses perdamaian runtuh karena beberapa alasan: ekspansi permukiman Israel yang terus berlanjut, pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh seorang ekstremis Yahudi, dan penolakan dari faksi-faksi Palestina seperti Hamas.48

Kegagalan Oslo untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka mengubah harapan menjadi keputusasaan yang mendalam. Pada September 2000, kekosongan politik ini meledak menjadi Intifada Kedua (juga dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa). Pemicunya adalah kunjungan provokatif oleh pemimpin oposisi Israel saat itu, Ariel Sharon, ke kompleks Masjid Al-Aqsa/Temple Mount di Yerusalem, yang dijaga oleh ribuan polisi.9 Intifada Kedua jauh lebih kejam dan termiliterisasi daripada yang pertama. Ia ditandai dengan serangan bunuh diri yang mematikan oleh kelompok militan Palestina terhadap warga sipil Israel dan respons militer Israel yang masif, termasuk invasi kembali ke kota-kota Palestina di Tepi Barat.9 Pergeseran dari Intifada Pertama ke Kedua menunjukkan evolusi tragis perlawanan Palestina: ketika jalur politik dan pembangkangan sipil gagal memberikan hasil, kekosongan itu diisi oleh faksi-faksi bersenjata yang menganjurkan kekerasan, sebuah pola yang akan terus berulang.

Perang Gaza dan Eskalasi Saat Ini (Oktober 2023 - Agustus 2025)

Setelah Intifada Kedua, Israel secara sepihak menarik pasukan dan pemukimnya dari Jalur Gaza pada tahun 2005. Namun, bukannya menjadi langkah menuju perdamaian, hal ini justru membuka babak baru konflik. Setelah Hamas mengambil alih Gaza pada tahun 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara, dan laut yang ketat di wilayah tersebut, yang oleh banyak pihak disebut sebagai "penjara terbuka".10 Sejak saat itu, Israel dan Hamas telah terlibat dalam beberapa perang besar (2008-09, 2012, 2014, 2021), yang masing-masing menyebabkan kehancuran besar di Gaza.70

Tabel 3: Dampak Kemanusiaan Perang Gaza 2023-2025 (per Agustus 2025)

KategoriStatistik / DataSumber
Korban Jiwa (Total)> 60.100 warga Palestina (per 31 Juli 2025)72
> 44.000 (per Nov 2024, tidak termasuk yang terkubur/sakit)73
Korban Jiwa (Wanita & Anak-anak)70% dari korban terverifikasi PBB per Sep 202473
18.000 anak (per Mei 2025)72
Korban Luka> 104.000 (per Nov 2024)73
Pengungsi InternalHampir seluruh populasi Gaza (2,3 juta orang) mengungsi secara paksa, seringkali berulang kali.73
Rumah Hancur/Rusak63% dari semua bangunan di Gaza (per 2024)73
Fasilitas KesehatanDari 36 rumah sakit, hanya 17 yang berfungsi sebagian (akhir 2024).74
Kerawanan Pangan/Kelaparan96% anak-anak di Gaza mengalami malnutrisi (akhir 2024).74
Seluruh populasi menghadapi kerawanan pangan akut atau kelaparan.73

Kronologi Perang

Konflik saat ini, yang paling dahsyat dalam sejarah konflik, meletus pada 7 Oktober 2023. Militan Hamas melancarkan serangan mendadak dari Gaza ke Israel selatan, menewaskan sekitar 1.139 hingga 1.300 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera sekitar 250 orang.12 Sebagai tanggapan, Israel secara resmi menyatakan perang, memberlakukan "pengepungan total" terhadap Gaza—memutus pasokan makanan, air, bahan bakar, dan listrik—dan memulai kampanye pengeboman udara besar-besaran, diikuti dengan invasi darat pada 27 Oktober 2023.12

Konflik dengan cepat meluas. Terjadi peningkatan kekerasan di Tepi Barat, dan baku tembak hampir setiap hari terjadi di perbatasan utara Israel dengan Hizbullah di Lebanon. Kelompok-kelompok yang didukung Iran di Yaman, Suriah, dan Irak juga melancarkan serangan terhadap Israel dan target-target AS.12 Gencatan senjata sementara selama seminggu pada November 2023 memungkinkan pertukaran beberapa sandera Israel dengan tahanan Palestina, tetapi pertempuran segera dilanjutkan.12 Pada Januari 2025, gencatan senjata baru yang dimediasi oleh AS, Mesir, dan Qatar diumumkan, tetapi terbukti berumur pendek. Israel memperbarui serangannya secara besar-besaran pada Maret 2025, termasuk di kota Rafah yang padat pengungsi.12

Bencana Kemanusiaan

Skala penderitaan manusia di Gaza belum pernah terjadi sebelumnya. Laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International untuk tahun 2024-2025 melukiskan gambaran yang mengerikan, menuduh Israel melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.73 Tuduhan genosida berpusat pada pembunuhan massal warga sipil dan "sengaja menimbulkan kondisi kehidupan yang diperhitungkan untuk membawa kehancuran fisik" bagi warga Palestina, seperti blokade bantuan yang menyebabkan kelaparan massal.74 Hampir seluruh populasi Gaza telah diusir secara paksa dari rumah mereka, seringkali berulang kali, ke area yang semakin menyusut dan tidak aman.73 Laporan PBB-OCHA secara konsisten merinci kehancuran sistematis infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, universitas, dan sistem air bersih, yang menyebabkan penyebaran penyakit yang meluas.74

Perkembangan Diplomatik dan Hukum Terkini

Meskipun terjadi kehancuran, upaya diplomatik terus berlanjut. Hingga Agustus 2025, mediator dari AS, Mesir, dan Qatar terus berupaya menjembatani kesenjangan antara tuntutan Hamas (gencatan senjata permanen dan penarikan penuh Israel) dan Israel (pembebasan semua sandera dan penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas). Pada 16 Agustus 2025, para mediator mengajukan "proposal penghubung" baru dalam upaya untuk memecahkan kebuntuan.80 Di ranah hukum, kasus genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel di ICJ terus mendapatkan dukungan internasional. Negara-negara seperti Kuba, Spanyol, Turki, Chili, Meksiko, dan Palestina sendiri telah secara resmi bergabung atau menyatakan niat untuk campur tangan dalam gugatan tersebut, meningkatkan tekanan hukum global terhadap Israel.81 Afrika Selatan juga berencana untuk mengajukan bukti baru ke pengadilan pada Oktober 2024 untuk memperkuat kasusnya.84

Bagian IV: Prospek Masa Depan dan Jalan Menuju Resolusi

Setelah menganalisis akar sejarah yang dalam dan faktor-faktor persisten yang mendorong konflik, pertanyaan yang tersisa adalah: ke mana arah konflik ini? Prospek perdamaian tampak lebih suram dari sebelumnya, dengan solusi-solusi tradisional yang kehilangan relevansinya dan realitas di lapangan yang menciptakan dinamika baru yang berbahaya.

Prospek Solusi Dua Negara yang Memudar

Solusi dua negara—sebuah negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di Tepi Barat dan Jalur Gaza, hidup berdampingan secara damai dengan Israel—telah lama menjadi paradigma yang didukung oleh konsensus internasional yang luas.85 Namun, saat ini, solusi ini semakin dianggap tidak realistis dan hampir mati. Ada kesenjangan yang semakin lebar antara retorika diplomatik yang terus mendukungnya dan realitas di lapangan yang secara aktif menghancurkannya.

Secara diplomatis, upaya untuk menghidupkan kembali solusi dua negara terus berlanjut. Konferensi Tingkat Tinggi tentang Solusi Dua Negara di PBB pada Juli 2025, yang menghasilkan "Deklarasi New York," dipandang sebagai terobosan untuk memulai kembali diskusi politik yang telah mandek selama lebih dari satu dekade.87 Namun, di lapangan, fondasi fisik untuk negara Palestina sedang terkikis setiap hari. Ekspansi permukiman Israel yang tak henti-hentinya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur telah menciptakan "fakta di lapangan" yang memecah belah wilayah Palestina menjadi kantong-kantong yang terisolasi, sehingga negara yang berdampingan dan layak secara geografis menjadi hampir mustahil.33 Ditambah dengan perpecahan politik Palestina yang mendalam dan penolakan keras dari faksi-faksi garis keras di kedua belah pihak 46, kelayakan solusi dua negara berada pada titik terendah sepanjang masa.

Realitas De Facto Satu Negara

Dengan memudarnya prospek solusi dua negara, banyak analis dan aktivis hak asasi manusia berpendapat bahwa realitas de facto antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania sudah merupakan satu negara di bawah kendali tunggal Israel. Namun, ini adalah negara di mana hak-hak diberikan secara tidak setara berdasarkan etnisitas. Warga Yahudi Israel menikmati hak kewarganegaraan penuh, sementara jutaan warga Palestina di Tepi Barat hidup di bawah pendudukan militer tanpa hak politik, dan warga Palestina di Gaza hidup di bawah blokade.

Wacana ini semakin bergeser dari memperdebatkan "solusi satu negara" sebagai alternatif di masa depan menjadi menggambarkannya sebagai deskripsi akurat tentang masa kini. Organisasi hak asasi manusia terkemuka, baik internasional seperti Amnesty International maupun Israel seperti B'Tselem, telah menyimpulkan bahwa sistem kontrol Israel atas Palestina merupakan kejahatan apartheid menurut hukum internasional.74 Pembingkaian ulang ini mengubah sifat konflik dari sengketa teritorial antara dua gerakan nasional menjadi perjuangan untuk hak-hak sipil dan kesetaraan di bawah satu otoritas yang berdaulat secara

de facto. Ini menantang narasi Israel sebagai negara demokrasi dan menyelaraskan perjuangan Palestina dengan gerakan anti-apartheid dan hak-hak sipil historis lainnya, yang berpotensi mengubah sifat dukungan internasional di masa depan.

Rekomendasi untuk De-eskalasi dan Perdamaian yang Berkeadilan

Berdasarkan analisis komprehensif ini, konflik Israel-Palestina tidak akan berakhir sampai akar penyebabnya—pendudukan, perampasan, dan penolakan hak—ditangani secara fundamental. Jalan menuju resolusi yang adil dan berkelanjutan membutuhkan perubahan paradigma dari semua pihak yang terlibat.

  1. Untuk Komunitas Internasional: Harus ada peralihan dari manajemen krisis ke resolusi konflik. Ini berarti mengakhiri standar ganda dan secara konsisten menegakkan hukum internasional. Resolusi PBB dan putusan ICJ harus didukung dengan tindakan nyata, termasuk tekanan yang berarti seperti sanksi yang ditargetkan terhadap ekspansi permukiman ilegal. Bantuan kepada kedua belah pihak harus dikondisikan pada kepatuhan terhadap hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.

  2. Untuk Amerika Serikat: Peran ganda sebagai mediator dan sekutu utama Israel terbukti tidak berhasil. AS harus mengadopsi peran sebagai mediator yang benar-benar netral dengan menyeimbangkan hubungan strategisnya dengan Israel dengan komitmen yang tulus untuk menegakkan hak-hak dan penentuan nasib sendiri Palestina. Ini termasuk menahan diri dari menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari akuntabilitas atas pelanggaran hukum internasional.

  3. Untuk Aktor Regional dan Eksternal: Mediator seperti Mesir dan Qatar harus terus memfasilitasi de-eskalasi, tetapi upaya mereka harus didukung oleh kerangka politik yang lebih luas yang bertujuan untuk mengakhiri pendudukan. Negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel harus menggunakan pengaruh mereka untuk menekan kemajuan nyata dalam isu Palestina, bukan mengesampingkannya. Iran dan proksinya harus menghentikan tindakan yang memicu eskalasi regional dan menyabotase prospek stabilitas.

  4. Untuk Kepemimpinan Israel dan Palestina: Rekonsiliasi internal adalah prasyarat mutlak. Kepemimpinan Palestina harus mengatasi perpecahannya untuk menyajikan front persatuan yang dapat secara sah mewakili aspirasi rakyatnya. Kepemimpinan Israel harus meninggalkan paradigma keamanan yang semata-mata didasarkan pada kekuatan militer dan pendudukan permanen. Keamanan jangka panjang bagi Israel hanya dapat dicapai melalui resolusi politik yang memberikan keadilan, martabat, dan kedaulatan bagi Palestina. Langkah pertama menuju rekonsiliasi sejati menuntut kedua belah pihak untuk secara empatik mengakui penderitaan dan narasi historis pihak lain: Nakba dan perampasan berkelanjutan bagi Palestina, serta sejarah penganiayaan dan kebutuhan mendalam akan keamanan bagi orang Yahudi. Tanpa pengakuan timbal balik atas kemanusiaan dan hak-hak ini, siklus kekerasan ditakdirkan untuk terus berlanjut.

Post a Comment for "Konflik Tanpa Akhir: Analisis Mendalam Akar Sejarah, Dinamika Persisten, dan Trajektori Masa Depan Perang Israel-Palestina"